BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penyakit Malaria Pengertian dan Sejarah Malaria

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Penyakit Malaria
2.1.1. Pengertian dan Sejarah Malaria
Malaria merupakan penyakit infeksi akibat Protozoa dari genus
Plasmodium dan ditularkan terutama melalui tusukan (gigitan) nyamuk Anopheles
betina. Terdapat lebih dari 120 spesies Plasmodium yang menginfeksi mamalia,
unggas, dan reptil, tapi hanya empat spesies yang dikenal menginfeksi manusia
secara konsisten, yaitu P. falciparum, P. vivax, P. malariae, dan P. ovale
(Hoffman, Campbell & White, 2006). Kasus infeksi manusia oleh spesies
Plasmodium yang sebelumnya hanya menginfeksi kera ekor panjang (Macaca
sp.), P. knowlesi, semakin banyak dilaporkan di wilayah perhutanan Asia
Tenggara (WHO, 2010).
Malaria merupakan penyakit purba yang telah menimbulkan dampak besar
terhadap kesehatan manusia selama sejarah peradaban manusia. Malaria juga turut
mempengaruhi pola pemukiman penduduk dunia dan menimbulkan dampak
kesehatan secara global. Malaria diduga berasal dari negara Afrika dan telah ikut
berevolusi bersama dengan inang dan vektornya (Carter & Mendis, 2002). Pada
abad ke-18, malaria (mal aria = udara kotor) diberi nama atas dasar kepercayaan
Roman kuno bahwa penyakit ini ditransmisikan melalui asap berbahaya dari
daerah sekitar rawa yang mengelilingi Roma (Rosenthal & Kamya, 2012). Pada
tahun 1880 Alphonse Laveran, dokter militer berkebangsaan Perancis,
mendeskripsikan parasit malaria di dalam darah penderita untuk pertama kalinya.
Transmisi malaria oleh nyamuk Anopheles ditemukan pada tahun 1897 oleh
dokter militer berkebangsaan Britania, Ronald Ross. Laveran (1907) dan Ross
(1902) diberi hadiah Nobel atas penemuannya. Sementara itu, siklus hidup dalam
manusia diuraikan pada tahun 1898-1899 oleh ilmuwan Italia bernama Amico
Bignami, Giusseppe Bastianelli, dan Battista Grassi. Penemuan dari siklus hidup
ini menjadi titik awal dari usaha mengontrol populasi nyamuk yang bertujuan
mengurangi transmisi malaria (Hoffman, Campbell & White, 2006).
Universitas Sumatera Utara
2.1.2. Epidemiologi
Infeksi malaria tersebar luas di berbagai negara dan transmisi terjadi di
Afrika, Asia Selatan, Asia Tenggara, dan Oceania, di Amerika Tengah, Haiti, dan
Republik Dominika, dan di Brazil serta negara Amerika Latin lainnya. Intensitas
transmisi Plasmodium paling tinggi terdapat di benua Afrika (Hoffman, Campbell
& White, 2006). WHO mengestimasi bahwa terdapat 219 juta kasus malaria dan
660 ribu kematian pada tahun 2010. Selain itu, diperkiran 3,3 miliar jiwa
penduduk berisiko tertular penyakit malaria pada tahun 2011 dan 99 negara masih
terjadi transmisi malaria secara aktif (WHO, 2012).
Sekitar 17% populasi di Indonesia memiliki transmisi tinggi, 44% populasi
memiliki transmisi rendah, dan sisanya bebas malaria. Di Indonesia, kebanyakan
kasus malaria diakibatkan oleh P. falciparum (55%) dan P. vivax (45%) (WHO,
2012). Di antara penderita malaria, 5-7% terinfeksi lebih dari satu spesies
Plasmodium. Koinfeksi antar spesies Plasmodium tersebut pernah dideskripsikan
dalam vektor nyamuk parasit malaria (Marchand et al., 2011). Infeksi campuran
antara P. falciparum dan P. vivax sering dijumpai di Indonesia dan Thailand. Pada
tahun 2010 P. knowlesi pernah dilaporkan di Pulau Kalimantan. P. malariae dapat
ditemukan di beberapa provinsi antara lain Lampung, NTT, dan Papua. P. ovale
pernah ditemukan di NTT dan Papua. Prevalensi malaria nasional berdasarkan
hasil Riskesdas tahun 2010 adalah 0,6% dimana provinsi dengan API di atas
angka rata-rata nasional terdapat di NTB, Maluku, Maluku Utara, Kalimantan
Tengah, Bangka Belitung, Kepulauan Riau, Bengkulu, Jambi, Sulawesi Tengah,
Gorontalo, dan Aceh. Tingkat prevalensi tertinggi ditemukan di wilayah timur
Indonesia, yaitu di Papua Barat (10,6%), Papua (10,1%) dan NTT (4,4%) (Dinas
Kesehatan RI, 2010).
Terdapat empat faktor yang menentukan epidemiologi malaria, yaitu
faktor lingkungan, vektor, parasit, dan inang. Faktor-faktor tersebut yang
menentukan tingkat kestabilan malaria di suatu negara (Lucas & Gilles, 2003).
Universitas Sumatera Utara
2.1.3. Siklus Hidup Plasmodium
Ketika nyamuk Anopheles betina yang terinfeksi menghisap darah
manusia, rata-rata 5-10 sporozoit akan masuk ke jaringan atau langsung ke
peredaran darah. Setelah itu sporozoit secara cepat akan menuju organ hati dan
menginvasi hepatosit (sel hati) dalam 30 menit. Selama sekurangnya 5,5 hari,
sporozoit yang memiliki satu inti tersebut akan berkembang menjadi skizon hati
dewasa yang terdiri dari 10,000-40,000 merozoit hati dengan satu inti. Pada P.
vivax dan P. ovale, sebagian tropozoit hati tidak langsung berkembang menjadi
skizon, tetapi ada yang menjadi bentuk dorman atau hipnozoit yang dapat tinggal
di dalam sel hati selama 3 tahun. Infeksi rekurensi akibat pengaktifan hipnozoit
tersebut akan menimbulkan relaps.
Skizon hati dewasa akan pecah, melepas ribuan merozoit, yang akan
menginvasi eritrosit (sel darah merah). Berbeda dengan ketiga parasit lainnya,
merozoit P. vivax tidak dapat menginvasi eritrosit yang tidak terdapat antigen
grup darah Duffy. Di dalam eritrosit, parasit tersebut berkembang dari stadium
tropozoit menjadi skizon dengan rata-rata 16 merozoit satu inti. Proses
perkembangan aseksual ini disebut skizogoni. Stadium eritrosit aseksual ini
berlangsung sekitar 48 jam untuk P. falciparum, P. vivax, dan P. ovale dan
sekitar 72 jam untuk P. malariae. Selanjutnya eritrosit yang terinfeksi akan pecah
dan merozoit yang keluar akan menginfeksi eritrosit lainnya. Parasit pada stadium
eritrositer ini dapat berkembang menjadi parasit pada stadium seksual yang
dinamakan gametosit. Di dalam usus nyamuk Anopheles betina, gametosit keluar
dari eritrosit dan membentuk gamet. Gamet jantan dan betina akan terjadi
pembuahan membentuk zigot. Sekitar 5 jam setelah penghisapan darah, zigot akan
mengalami meiosis dua langkah. Pada 18 sampai 24 jam berikutnya, zigot akan
mengalami transformasi menjadi ookinet. Selanjutnya ookinet menembus dinding
lambung nyamuk melalui sel epitel dan menetap di sekitar lamina basalis. Di sini
ookinet akan bertransformasi menjadi ookista. Selanjutnya mulai dari hari ke-6
ookista akan mengalami pembelahan sel yang pada akhirnya akan terbentuk
sekitar 8.000 sporozoit. Pada hari ke-12, sporozoit tersebut akan bermigrasi ke
Universitas Sumatera Utara
kelenjar ludah nyamuk dan siap ditularkan ke manusia. (Hoffman, Campbell &
White, 2006)
2.1.4. Patogenesis Malaria
Demam mulai timbul bersamaan dengan pecahnya skizon darah yang
mengeluarkan bermacam-macam antigen. Antigen ini akan merangsang sel-sel
makrofag, monosit atau limfosit yang mengeluarkan berbagai macam sitokin,
antara lain TNF (Tumor Necrosis Factor) dan IL-6 (Interleukin-6). TNF dan IL-6
akan dibawa aliran darah ke hipotalamus yang merupakan pusat pengatur suhu
tubuh dan terjadi demam. Demam dapat terjadi setiap hari pada infeksi P.
falciparum, selang waktu satu hari pada infeksi P. vivax atau P. ovale, dan selang
dua hari pada infeksi P. malariae.
Anemia terjadi karena pecahnya sel darah merah yang terinfeksi maupun
yang tidak terinfeksi. P. vivax dan P. ovale hanya menginfeksi kurang dari 2% sel
darah merah muda (retikulosit), sedangkan P. malariae menginfeksi sel darah
merah tua/ matang yang jumlahnya hanya 1% dari jumlah sel darah merah.
Sehingga anemia yang disebabkan oleh P. vivax, P. ovale, dan P. malariae
umumnya terjadi pada keadaan kronis. P. falciparum menginfeksi semua jenis sel
darah merah, sehingga anemia dapat terjadi pada infeksi akut dan kronis (Dinas
Kesehatan RI, 2010). Pada kasus berat, parasit dapat menyerang sampai 20%
eritrosit (Rampengan, 2008).
Pembesaran limpa atau splenomegali sering dijumpai pada penderita
malaria. Limpa biasanya akan teraba 3 hari setelah serangan infeksi akut
(Harijanto, 2008). Pembesaran limpa disebabkan oleh terjadinya peningkatan
jumlah eritrosit yang terinfeksi parasit, teraktivasinya sistem retikuloendotelial
untuk memfagositosis eritosit yang terinfeksi parasit dan sisa eritrosit akibat
hemolisis (Rampengan, 2008).
Malaria berat akibat P. falciparum mempunyai patogenesis yang khusus.
Permukaan eritrosit yang terinfeksi akan membentuk knob yang berisi berbagai
antigen P. falciparum. Sitokin (TNF, IL-6, dan lain-lain) yang diproduksi oleh sel
makrofag, monosit, dan limfosit akan menyebabkan terekspresinya reseptor
Universitas Sumatera Utara
endotel kapiler. Pada saat knob tersebut berikatan dengan reseptor sel endotel
kapiler terjadilah proses cytoadhesion. Proses ini menyebabkan penyumbatan
pembuluh kapiler yang menyebabkan terjadinya iskemia jaringan. Pembentukan
mediator-mediator tersebut menyebabkan gangguan fungsi jaringan tertentu
(Dinas Kesehatan RI, 2010). Hal inilah yang menjadikan P. falciparum berpotensi
tinggi mengakibatkan gejala klinis berat seperti malaria otak (cerebral malaria)
dan malaria pada kehamilan (pregnancy-associated malaria) (Noviyanti, 2008).
2.1.5. Gejala Klinis
Gejala klinis merupakan petunjuk penting dalam diagnosis malaria dan
dipengaruhi oleh spesies Plasmodium, imunitas tubuh, usia, dan jumlah parasit
yang menginfeksi. Waktu mulai terjadinya infeksi sampai timbul gejala klinis
dikenal sebagai masa inkubasi. Sementara itu, periode prepaten adalah rentang
waktu antara terjadinya infeksi sampai terdeteksinya parasit di dalam eritrosit
dengan pemeriksaan mikroskopis (Harijanto, 2008). Baik anak maupun orang
dewasa tidak menampakkan gejala semasa periode inkubasi. Tiap spesies
memiliki periode inkubasi berbeda: P. falciparum, 9-14 hari; P. vivax, 12-17 hari;
P. ovale, 16-18 hari; P. malariae, 18-40 hari. Periode inkubasi dapat memanjang
pada pasien dengan adanya imunitas atau pada pasien yang mendapatkan
kemoprofilaksis tidak lengkap. Periode inkubasi bisa sampai 6-12 bulan untuk P.
vivax (Krause, 2011). Keluhan prodromal dapat terjadi selama 2-3 hari sebelum
timbul demam dan dapat berupa sakit kepala, sakit punggung, sakit perut, sakit
tulang, otot, atau sendi, rasa lelah, anoreksia, dan diare ringan. Keluhan prodromal
sering terjadi pada P. vivax dan P.ovale, sedangkan pada P. falciparum dan
P.malariae keluhan prodromal kurang jelas dan bahkan dapat timbul gejala secara
mendadak (Harijanto, 2008).
Gejala klasik malaria, yang jarang dijumpai pada penyakit infeksi lain,
terdiri dari serangan demam tiba-tiba dan periodik. Serangan ini diawali dengan
periode dingin berlangsung kira-kira 1-2 jam dan diikuti oleh demam tinggi.
Kemudian, penderita akan mulai berkeringat, dan suhu tubuh akan menurun
kembali normal atau di bawah normal. Trias malaria secara keseluruhan dapat
Universitas Sumatera Utara
berlangsung 6-10 jam dan lebih sering terjadi pada infeksi P. vivax (Harijanto,
2008). Sakit kepala hampir selalu terjadi dan dapat juga disertai gejala penyerta
seperti batuk, rasa lelah atau tidak enak badan, nyeri otot, nyeri sendi, mual,
muntah, diare, pucat, atau ikterus. Banyak penderita, terutama pada awal infeksi,
tidak menunjukkan gejala klasik tersebut tapi dapat terjadi beberapa serangan
demam ringan dalam sehari. Periodisitas demam terjadi bersamaan dengan
rupturnya skizon dan tergantung tiap spesiesnya (misalnya 48 jam untuk P. vivax,
dan P. ovale). Periodisitas sering tidak diamati pada infeksi P. falciparum dan
infeksi campuran. Umumnya kejadian periodisitas demam tidak dapat dijadikan
sebagai petunjuk diagnosis malaria. Anak-anak dengan malaria sering
menampakkan gejala yang berbeda dibandingkan orang dewasa. Anak berusia
lebih dari 2 tahun tanpa adanya imunitas dapat menampakkan gejala klinis yang
bervariasi (Krause, 2011).
P. falciparum merupakan jenis organisme penyebab malaria yang paling
berbahaya bila dibandingkan dengan spesies lainnya. Malaria ini memiliki
parasitemia tinggi dan sering terjadi komplikasi. Bila tidak diobati segera, angka
kematian dapat mencapai 25% pada orang dewasa dan 30% anak-anak non-imun.
Pada individu dengan adanya imunitas infeksi biasanya bersifat ringan atau tidak
disertai komplikasi. Pada umumnya, malaria vivaks lebih ringan dibandingkan
dengan malaria falsiparum, tetapi dapat saja menyebabkan kematian akibat dari
rupturnya limpa atau retikulositosis setelah anemia. Kekambuhan dapat terjadi
bila pengobatan tidak tepat dan sering timbul dalam 6 bulan setelah serangan akut
tapi dapat juga dalam 5 tahun setelah permulaan infeksi. P. malariae merupakan
infeksi malaria paling ringan dan kronis. Rekrudesensi (kekambuhan) pernah
diamati 30-50 tahun setelah serangan akut. Walaupun parasitemia sering rendah,
P. malariae yang tidak diobati dapat menimbulkan masalah kesehatan kronis
disamping demam (Krause, 2011). Malaria ovale merupakan bentuk yang paling
ringan di antara semua jenis malaria. Gejala klinis hampir sama dengan malaria
vivaks namun lebih ringan. Serangan menggigil jarang terjadi dan splenomegali
jarang sampai teraba. Infeksi P. knowlesi juga dapat menimbulkan penyakit berat
dan kematian pada manusia. Gejala yang muncul dapat berupa demam tinggi.
Universitas Sumatera Utara
Seperti halnya pada P. falciparum, parasitemia tinggi sering dijumpai pada P.
knowlesi(Harijanto, 2008).
Infeksi malaria kronis dapat mengalami komplikasi berupa splenomegali
hiperreaktif dengan manifestasi splenomegali masif dan hypersplenism. Infeksi
kronis juga dapat memicu sindrom nefrotik, terutama pada infeksi P.
malariae(Rosenthal & Kamya, 2012).
Kasus malaria tanpa komplikasi dapat dengan mudah berkembang menjadi
malaria berat jika tidak diobati secara adekuat, sedangkan prognosis malaria berat
sangat bergantung pada kecepatan dan ketepatan diagnosis serta pengobatan yang
diberikan. Di negara berkembang, malaria berat dan kematian paling banyak
terjadi pada anak berusia muda, khususnya akibat dari malaria serebral dan
anemia berat (Rosenthal, 2013).
Pada pasien dengan parasitemia P. falciparum stadium aseksual tanpa
penyebab jelas lain, terdapatnya satu atau lebih manifestasi klinis atau temuan
hasil laboratorium berikut menandakan pasien menderita malaria berat (WHO,
2010).
1. Penurunan kesadaran atau koma;
2. Kelemahan (tidak bisa duduk/berjalan);
3. Tidak bisa makan dan minum;
4. Kejang umum berulang (lebih dari 2 kali dalam 24 jam);
5. Gawat napas;
6. Gagal sirkulasi atau syok: tekanan sistolik <70 mmHg (<50 mmHg pada anak);
7. Jaundice disertai disfungsi organ vital;
8. Hemoglobinuria (blackwater fever);
9. Perdarahan spontan abnormal; dan
10. Edema paru (radiologi).
Gambaran laboratorium yang menandakan malaria berat antara lain:
1. Hipoglikemia (gula darah < 40 mg% atau < 2,2 mmol/l);
2. Asidosis metabolik (bikarbonat plasma < 15 mmol/l);
3. Anemia berat (Hb < 5 g% atau hematokrit < 15%);
Universitas Sumatera Utara
4. Hiperparasitemia (parasit > 2 % per 100.000/µL di daerah endemis rendah atau
> 5% per 100.0000/µl di daerah endemis tinggi);
5. Hiperlaktatemia (asam laktat dalam vena > 5 mmol/l);
6. Hemoglobinuria; dan
7. Gangguan fungsi ginjal (kreatinin serum > 3 mg% atau > 265 µmol/l).
Tabel 2.1. Masa Inkubasi, Periode Prepaten, Periode Demam dan Gejala Klinis
pada Setiap SpesiesPlasmodium
Spesies
Periode
Masa
Tipe
Manifestasi Klinis
Plasmodium Prepaten
(hari)
Falciparum
11
inkubasi
Panas
(hari)
(jam)
12 (9-14)
24,36,48 anemia; ikterus;
hemoglobinuria; syok; algid
malaria (syok, syncope,
hipotensi, kulit dingin dan
lembab, gejala gastrointestinal,
diare, dan muntah); koma
(malaria serebral); edema paru;
hipoglikemia; gagal ginjal;
gangguan kehamilan; kelainan
retina; kematian.
Vivax
12,2
13 (12-17)
48
Anemia kronik; splenomegali;
ruptur limpa.
Ovale
12
17 (16-18)
48
Sama seperti vivax
Malariae
32,7
28 (18-40)
72
Rekrudesensi sampai 50 tahun,
splenomegali menetap, limpa
jarang ruptur, sindrom nefrotik.
Diadaptasi dari: Harijanto (2008)
2.1.6. Diagnosis
Diagnosis malaria yang cepat dan tepat merupakan hal yang sangat
diperlukan dalam penatalaksanaan kasus malaria. Penderita yang dicurigai secara
Universitas Sumatera Utara
klinis menderita malaria harus dikonfirmasi dengan pemeriksaan parasitologi.
Kemungkinan penyebab demam yang lain juga perlu disingkirkan. Dua metode
yang secara rutin dipakai untuk diagnosis parasitologi adalah mikroskop cahaya
dan rapid diagnostic tests (RDTs) (WHO, 2010).
a. Pemeriksaan dengan mikroskop cahaya
Pemeriksaan ini merupakan standar baku (gold standard) dan dilakukan
dengan cara membuat sediaan darah tebal dan tipis yang diberi pewarnaan
Giemsa. Hapusan tebal membantu diagnosis cepat dan pasti sedangkan
hapusan tipis berguna untuk mengidentifikasi spesies Plasmodium dan
menilai derajat eritrosit yang telah terinfeksi. Selain itu, hapusan tipis juga
berguna untuk menentukan respon terhadap terapi. Namun, perlu diketahui
bahwa hasil pemeriksaan hapusan darah tunggal yang negatif tidak dapat
menyingkirkan kemungkinan terjadinya infeksi. Pemeriksaan berulang perlu
dapat dilakukan setiap 4-6 jam. Parasit dapat ditemukan dalam hapusan darah
tebal dalam 48 jam pada kebanyakan penderita malaria yang menunjukkan
gejala klinis (Krause, 2011).
b. Pemeriksaan dengan tes diagnostik cepat (Rapid Diagnostic Tests/RDTs)
RDT merupakan tes imunokromatografi yang mendeteksi antigen spesifik
parasit dan tersedia secara komersial dalam beberapa bentuk. Tes ini dapat
memberi hasil secara cepat dan membutuhkan sedikit pelatihan kepada tenaga
kesehatan, namun harganya relatif mahal. WHO merekomendasikan agar tes
ini setidaknya memiliki sensitivitas > 95% pada densitas lebih dari 100
parasit/µl darah. RDT dapat diandalkan untuk diagnosis malaria di daerah
terpencil yang tidak tersedia mikroskop (WHO, 2010). Saat ini RDT yang
digunakan program pengendalian malaria adalah yang dapat mengidentifikasi
P. falciparum dan non P. falciparum (Dinas Kesehatan RI, 2010).
2.2. Pengobatan Malaria Tanpa Komplikasi
Terapi antimalaria harus segera diberikan apabila dijumpai hasil positif
pada pemeriksaan hapusan darah (Krause, 2011). Terapi antimalaria berdasarkan
klinis hanya dapat dilakukan apabila alat diagnostik tidak tersedia. Selain itu,
Universitas Sumatera Utara
terapi perlu diberikan terapi, antimalaria yang lengkap tetap dibutuhkan sekalipun
diagnosis tidak dikonfirmasi melalui pemeriksaan laboratorium apabila memang
pasien dicurigai kuat menderita malaria. Terapi antimalaria lengkap juga
dibutuhkan meskipun pasien dipertimbangkan mempunyai imunitas sebagian
(WHO, 2010).
Malaria tanpa komplikasi dapat diberikan obat antimalaria dengan rawat
jalan (Rampengan, 2008). Saat ini antimalaria yang digunakan sesuai dengan
program nasional adalah derivat artemisinin golongan aminokuinolin, yaitu
(Dinas Kesehatan RI, 2010):
a.
Kombinasi tetap (Fixed Dose Combination = FDC) yang terdiri atas
Dihydroartemisinin dan Piperakuin (DHP). 1 tablet FDC mengandung 40 mg
dihydroartemisinin dan 320 mg piperakuin. Obat ini diberikan per–oral
selama tiga hari dengan range dosis tunggal harian sebagai berikut:
Dihydroartemisinin dosis 2-4 mg/kgBB; Piperakuin dosis 16-32 mg/kgBB.
b.
Artesunat – Amodiakuin (AAQ)
Kemasan yang ada pada program pengendalian malaria dengan 3 blister,
setiap blister terdiri dari 4 tablet artesunat 50 mg dan 4 tablet amodiakuin 150
mg. Dosis amodiakuin basa yaitu 10 mg/kgBB dan dosis artesunat yaitu
4mg/kgBB.
Artemisin tidak dianjurkan diberikan sebagai monoterapi karena dapat
memicu terjadinya resistensi (WHO, 2010). Sejak akhir tahun 2007 Depkes RI
telah memutuskan untuk menggunakan DHP di Papua sebagai pengganti AAQ
(Hasugian et al., 2007). Kombinasi ini dapat dijadikan pengobatan alternatif,
khususnya di daerah dengan tingkat kegagalan terapi AAQ yang sudah tinggi
(Harijanto, 2008).
Di daerah dengan transmisi rendah, primakuin dapat mencegah
kekambuhan sehingga direkomendasikan pada pasien tanpa defisiensi G6PD
(Glucose-6-phospate dehydrogenase) (WHO, 2010). Penggunaan primakuin
sebagai gametositosid berguna untuk mengurangi transmisi malaria falsiparum,
dan secara khusus membantu mengurangi penyebaran malaria falsiparum yang
resisten terhadap artemisin di Asia Tenggara. WHO merekomendasikan
Universitas Sumatera Utara
pemberian primakuin 0,75 mg basa/kgBB (dosis dewasa 45 mg) untuk regimen
terapi malaria falsiparum di daerah dengan endemisitas rendah, terutama pada
daerah dengan ancaman terjadinya resistensi terhadap artemisin. Primakuin juga
digunakan sebagai penanganan radikal malaria vivaks (WHO, 2012). Pada area
dengan transmisi musiman dimana relaps terjadi 6-12 bulan setelah serangan
primer, terapi dengan primakuin dapat memperlambat terjadinya relaps. Ini
merupakan keuntungan dalam program untuk memutuskan transmisi malaria
(Dinas Kesehatan RI, 2010). Sayangnya sering didapati ketidakjelasan mengenai
prevalensi dan keparahan dari defisiensi G6PD, dan pemeriksaan biasanya tidak
tersedia di daerah tersebut. Pada praktiknya, kemungkinan untuk mengalami AHA
(Acute Hemolytic Anemia) membatasi penggunaan primakuin (WHO, 2012).
2.2.1. Pengobatan Malaria Falsiparum dan Malaria Vivaks
Regimen
pengobatan
malaria
falsiparum
dan
vivaks
yang
direkomendasikan Depkes RI sebagai lini pertama saat ini adalah yang
menggunakan ACT ditambah primakuin. Dosis ACT sama untuk malaria
falsiparum dan vivaks, sedangkan primakuin hanya diberikan pada hari pertama
untuk malaria falsiparum (0,75 mg/kgBB) dan 14 hari untuk malaria vivaks (0,25
mg/kgBB).
a. Lini pertama
ACT + Primakuin
Tabel 2.2 Pengobatan Lini Pertama Malaria Falsiparum dengan DHP dan
Primakuin
Dikutip dari:Dinas Kesehatan RI (2010)
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.3 Pengobatan Lini Pertama Malaria Vivaks dengan DHP dan
Primakuin
Dikutip dari:Dinas Kesehatan RI (2010)
Dosis antimalaria dihydroartemisinin dan piperakuin sebaiknya disesuaikan
dengan berat badan pasien. Apabila penimbangan berat badan tidak dapat
dilakukan, maka dosis obat dapat disesuaikan dengan umur pasien (Dinas
Kesehatan RI, 2010).
Tabel 2.4 Pengobatan Lini Pertama Malaria Falsiparum dengan Artesunat +
Amodiakuin dan Primakuin
Dikutip dari:Dinas Kesehatan RI (2010)
Tabel 2.5 Pengobatan Lini Pertama Malaria Vivaks dengan Artesunat +
Amodiakuin dan Primakuin
Dikutip dari:Dinas Kesehatan RI (2010)
Universitas Sumatera Utara
b. Lini kedua untuk malaria falsiparum
Lini kedua yang dipakai adalah kina ditambah doksisiklin atau tetrasiklin dan
dikombinasikan dengan primakuin. Pengobatan ini diberikan apabila
pengobatan lini pertama tidak efektif, dimana ditemukan gejala klinis tidak
memburuk tetapi parasit aseksual tidak berkurang atau terjadi rekrudesensi
(Dinas Kesehatan RI, 2010). Lini kedua diberikan bila kegagalan terapi
terjadi dalam 14 hari sejak pemberian ACT atau ACT tidak tersedia (WHO,
2010). Selain harganya yang murah, efikasi kombinasi kina-doksisiklin telah
dibuktikan pada beberapa penelitian (Lubis & Pasaribu, 2008). Namun,
berdasarkan data ekstensif yang ada, kina seharusnya tidak digunakan sebagai
terapi malaria tanpa komplikasi ketika ACT tersedia. ACT mempunyai
keuntungan dalam perhitungan dosis yang lebih mudah, yang akan
meningkatkan kepatuhan terhadap pengobatan apabila dibandingkan dengan
kina yang diberikan selama 7 hari, toleransi obat yang lebih baik serta
berkurangnya toksisitas yang serius (Achan et al., 2009). Penelitian di Brazil
menunjukkan bahwa penggunaan ACT menunjukkan laju clearance parasit
yang lebih cepat secara signifikan bila dibandingkan dengan kombinasi kina
dan doksisiklin (Alecrim et al., 2006). Doksisiklin dan tetrasiklin sebaiknya
tidak diberikan pada wanita hamil dan anak di bawah usia 8 tahun. Selain
dapat menimbulkan perubahan warna gigi yang menetap, dampak yang
timbul dapat berupa deformitas atau gangguan pertumbuhan tulang dan gigi
pada anak (Deck & Winston, 2012). Oleh karena itu, klindamisin dapat
dijadikan sebagai pengganti doksisiklin dan tetrasiklin pada anak di bawah 8
tahun dan wanita hamil (WHO, 2010).
c. Lini kedua untuk malaria vivaks
Lini kedua yang dipakai adalah kombinasi kina dan primakuin. Kombinasi ini
digunakan apabila pengobatan malaria vivaks tidak menunjukkan respon
terhadap pengobatan ACT (Dinas Kesehatan RI, 2010).
d. Pengobatan malaria vivaks yang relaps
Dugaan relaps pada malaria vivaks adalah apabila pemberian primakuin dosis
0,25 mg/kgBB/hari sudah diminum selama 14 hari dan penderita sakit
Universitas Sumatera Utara
kembali dengan parasit positif dalam kurun waktu 3 minggu sampai 3 bulan
setelah pengobatan. Pada kasus ini pasien diberi dosis primakuin yang
ditingkatkan menjadi 0,5 mg/kgBB/hari (Dinas Kesehatan RI, 2010).
2.2.2. Pengobatan Infeksi Campuran P. falciparum + P. vivaks
Pada penderita dengan infeksi campuran diberikan ACT selama 3 hari
serta primakuin dengan dosis 0,25 mg/kgBB/hari selama 14 hari (Dinas
Kesehatan RI, 2010).
Tabel 2.6 Pengobatan Infeksi Campuran P. falciparum + P. vivax/P. ovale
dengan DHP
Dikutip dari:Dinas Kesehatan RI (2010)
Tabel 2.7 Pengobatan Infeksi Campuran P. falciparum + P. vivax/P. ovale
dengan Artesunat + Amodiakuin
Dikutip dari:Dinas Kesehatan RI (2010)
2.3.Resistensi Obat Antimalaria
2.3.1. Definisi Resistensi Obat Antimalaria
Resistensi obat antimalaria didefinisikan sebagai kemampuan suatu galur
parasit untuk bertahan hidup dan/atau berkembang biak pada pemberian dosis
yang direkomendasikan (WHO, 2010). Karakteristik parasit yang resisten diawali
Universitas Sumatera Utara
dengan kasus gagal obat yang jelas, sementara diagnosis klinis, parasitemia dan
kadar metabolit obat dalam darah telah diketahui (Syafruddin, 2008).
2.3.2. Penyebaran Resistensi Obat Antimalaria
Resistensi obat antimalaria sudah pernah dilaporkan pada seluruh obat
antimalaria, termasuk amodiakuin, klorokuin, meflokuin, kina, sulfadoksinpirimetamin, dan tidak terkecuali derivatif artemisin. Distribusi global dan laju
penyebaran resistensi cukup bervariasi (WHO, 2010). Resistensi obat antimalaria
pertama kali menjadi permasalahan dunia pada tahun 1960-an ketika parasit
menjadi resisten terhadap klorokuin. Resistensi awalnya dijumpai di daerah
Mekong dan kemudian menyebar ke benua Afrika. Hal ini memicu peningkatan
angka kejadian malaria dan kematian secara signifikan, terutama pada anak
(WHO, 2013). Dengan meluasnya resistensi terhadap klorokuin, sulfadoksinpirimetamin diperkenalkan pada tahun 1977 di perbatasan Thailand-Kamboja.
Namun, resistensi terhadap obat ini segera muncul. Seiring dengan gagalnya
penggunaan kina dan meflokuin di daerah ini pada tahun 1980 dan 1985, terdapat
beberapa bukti yang menunjukkan adanya galur-galur P. falciparum yang resisten
ganda (multiple drug-resistant) dan untuk kasus-kasus tersebut artemisin dan/atau
obat kombinasi berbasis artemisin menjadi satu-satunya pilihan yang rasional
(Syafruddin, 2008).
Belakangan ini resistensi terhadap obat antimalaria golongan artemisin
telah dilaporkan di Kamboja, Myanmar, Thailand, dan Vietnam. Hal ini dudukung
oleh penelitian Dondorp dkk. yang menunjukkan adanya penurunan efektivitas
pengobatan dengan artesunat di daerah perbatasan Kamboja-Thailand yang
ditandai oleh clearance parasit yang melambat secara in vivo (Dondorp et al.,
2009). Hal tersebut menimbulkan kekhawatiran dan mendesak badan organisasi
kesehatan dunia WHO untuk mengeluarkan kerangka darurat dalam upaya
melawan ancaman kesehatan publik tersebut. Kerangka tersebut mendorong
negara-negara terkait termasuk Indonesia untuk segera menghapus obat
antimalaria yang berkualitas rendah dan monoterapi artemisin oral dari peredaran,
Universitas Sumatera Utara
sebab penggunaannya akan berdampak pada berkurangnya kemanjuran artemisin
beserta obat yang dikombinasikannya (WHO, 2013).
2.3.3. Dampak Resistensi Obat Antimalaria
Resistensi membawa ancaman serius dalam upaya penanggulangan
malaria. Resistensi terhadap P. falciparum menimbulkan kekhawatiran besar
akibat adanya beban berat yang harus ditanggung, potensi mematikan,
kecenderungan epidemis, dan biaya obat pengganti untuk daerah dengan kejadian
resistensi tersebut.
Pada awal timbulnya resistensi, gejala klinis akan membaik untuk
sementara waktu. Akan tetapi, gejala akan timbul kembali (biasanya antara
minggu ke-3 dan ke-6 setelah pengobatan). Anemia dapat bertambah parah dan
terdapat kemungkinan lebih besar bagi gametosit untuk bertahan hidup. Keadaan
ini akan menyebabkan timbulnya suatu gen resistensi. Apabila keadaan ini terus
berlanjut, resistensi akan memburuk. Interval antara infeksi primer dengan
rekrudesensi akan memendek sehingga menyebabkan gagalnya perbaikan gejala
setelah pengobatan. Insidensi cenderung meningkat di daerah dengan transmisi
rendah dan mortalitas cenderung meningkat di seluruh wilayah (WHO, 2010).
Universitas Sumatera Utara
BAB 3
KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL
3.1. Kerangka Konsep Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian di atas, maka kerangka konsep dalam
penelitian ini adalah:
Terapi Malaria Tanpa Komplikasi
Data Rekam Medis Pasien
-
Ketepatan Pemilihan Obat
-
Ketepatan Dosis Obat
Malaria di RSUP H. Adam Malik
Tahun 2009-2012
Gambar 3.1 Kerangka Konsep Penelitian
3.2. Definisi Operasional Penelitian
1.
Malaria tanpa komplikasi adalah kasus malaria dengan parasit positif yang
mendapatkan obat antimalaria golongan artemisin atau non-artemisin yang
diberikan secara oral tanpa adanya manifestasi klinis malaria berat sesuai
kriteria WHO yang tercatat di rekam medis.
2.
Umur adalah usia pasien malaria sewaktu datang berobat sesuai dengan
tercatat di rekam medis, yaitu:
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
9-15 tahun
16-22 tahun
23-29 tahun
30-36 tahun
37-43 tahun
44-50 tahun
51-57 tahun
3. Jenis perawatan adalah jenis penanganan yang diterima pasien sewaktu datang
berkunjung sesuai data rekam medis, yaitu:
a. Rawat inap
b. Rawat jalan
Universitas Sumatera Utara
4. Jenis pekerjaan adalah mata pencaharian atau aktivitas sehari-hari pasien
malaria sesuai data rekam medis, yaitu:
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
Ibu Rumah Tangga
Pegawai negeri
Pegawai swasta
Pekerja lepas
Pelajar
Pendeta
Petani
Wiraswasta
5. Tempat tinggal adalah kota atau kabupaten dimana pasien bertempat tinggal
atau menetap sesuai data rekam medis, yaitu:
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.
k.
l.
m.
n.
o.
p.
q.
r.
Aceh Selatan
Aceh Tamiang
Batu Bara
Dairi
Deli Serdang
Karo
Langkat
Mandailing Natal
Medan
Padang Sidempuan
Pakpak Bharat
Pancur Batu
Pematang Siantar
Serdang Bedagai
Siak
Sibolga
Tapanuli Selatan
Tebing Tinggi
6. Riwayat perjalanan adalah kunjungan akhir-akhir ini ke luar daerah tempat
tinggal pasien sesuai data rekam medis, yaitu:
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
Aceh
Asahan
Dairi
Jambi
Mandailing Natal
Rantau Prapat
Siantar
Sibolga
Universitas Sumatera Utara
i. Tanjung Pinang
j. Tidak Ada
7. Pengukuran atau pencatatan berat badan adalah dokumentasi berat badan
pasien di rekam medis, yaitu:
a. Diukur/dicatat
b. Tidak diukur/dicatat
8. Manifestasi klinis adalah gejala atau tanda klinis yang terdapat pada pasien
malaria sesuai data rekam medis, yaitu:
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.
k.
l.
Demam
Menggigil
Berkeringat banyak
Sakit Kepala
Pucat
Mual
Muntah
Sakit otot/sendi
Ikterus
Malaise
Hepatomegali
Splenomegali
9. Spesies Plasmodium adalah parasit penyebab malaria yang teridentifikasi pada
pemeriksaan laboratorium sesuai data rekam medis, yaitu:
a. P. falciparum
b. P. vivax
c. Mixed infection (P. falciparum dan P. vivax)
10. Kadar hemoglobin yang dikelompokkan adalah kadar hemoglobin (Hb) dalam
darah sesuai data rekam medis yang kemudian dikategorikan sebagai berikut:
a. Anemia
: Hb < 12 g/dl
b. Tidak anemia : Hb > 12 g/dl
11. Regimen terapi antimalaria adalah obat antimalaria yang diresepkan untuk
kasus malaria tanpa komplikasi sesuai data rekam medis, yaitu:
a.
b.
c.
d.
e.
Artesunat + Amodiakuin (AAQ)
Dihydroartemisinin + Piperakuin (DHP)
Kina + Doksisiklin
Klorokuin
Klorokuin + Doksisiklin
Universitas Sumatera Utara
12. Pemberian primakuin adalah ada tidaknya peresepan obat primakuin sebagai
bagian terapi malaria tanpa komplikasi sesuai data rekam medis, yaitu:
a. Ada
b. Tidak ada
13. Ketepatan pemilihan jenis obat antimalaria adalah tepat atau tidaknya jenis
atau kelas obat antimalaria yang diberikan secara oral yang diresepkan kepada
pasien sebagai lini pertama terapi malaria tanpa komplikasi, yaitu:
a. Tepat : Obat kombinasi golongan artemisin (AAQ, DHP)
b. Tidak tepat : Bukan obat kombinasi golongan artemisin
14. Ketepatan dosis obat antimalaria golongan artemisin adalah ketepatan
perhitungan dosis obat antimalaria kombinasi (AAQ atau DHP) dalam terapi
malaria tanpa komplikasi yang disesuaikan dengan pedoman Depkes RI, yaitu:
a. Tepat : Dosis obat sesuai dengan berat badan atau usia pasien
b. Tidak tepat : Dosis obat tidak sesuai dengan berat badan atau usia pasien
15. Ketepatan terapi malaria tanpa komplikasi adalah ketepatan pemilihan jenis
obat antimalaria yang diberikan secara oral dan ketepatan perhitungan dosis
obat antimalaria golongan artemisin, yaitu:
a.
b.
c.
d.
Obat dan dosis tepat
Obat tepat, dosis tidak tepat
Obat tepat, dosis tidak ditulis
Obat tidak tepat
Universitas Sumatera Utara